Muktamar NU-Muhammadiyah dan Harapan Dunia

Muktamar NU-Muhammadiyah dan Harapan Dunia Oleh Irwan Amrizal

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kini masih menggelar muktamar. Tak hanya umat Islam Indonesia yg menaruh harapan tapi jg dunia. Tema yg diangkat NU dan Muhammadiyah pd muktamar kali ni sejatinya dpt melembagakan harapan banyak pihak pd Islam Indonesia / Nusantara.

Bukan tanpa maksud NU mengangkat tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untk Peradaban Indonesia dan Dunia’ pd muktamar kali ini. Melalui tema ni NU hendak menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi keberislaman: NU tak hanya didedikasikan untk Indonesia, tapi jg untk dunia. Dengan kata lain, NU ingin mengubah orientasi keberislamannya dari ‘importir’ jadi ‘eksportir’; dari ‘konsumen’ jadi ‘produsen’ (Rumadi Ahmad, Harian Kompas, 31 Juli 2015).

Kesadaran baru itu berangkat dari beberapa fakta. Pertama, Timur-Tengah yg selama ni menjadi kiblat dlm melihat dunia Islam sedang berada dlm instabilitas politik yg parah. Musim Semi Arab yg berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010 ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan Timur-Tengah yg masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yg sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jg menjadi tambahan persoalan.

Kedua, secara internasional sekarang ni sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dlm merespons berbagai persoalan. Meski sejumlah kalangan masih ada yg beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui -dalam perkembangan global mutakhir- Islam memiliki peran sangat penting dlm menentukan arah perubahan dunia. Islam jg semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dlm perkembangan dan penambahan jumlah pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.

Dalam simulasi riset lembaga Pew Research Center (PRC) pd April 2015 yg berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 disebutkan bahwa tren pertambahan jumlah umat Islam secara demografis dlm beberapa tahun ke depan tumbuh secara signifikan.

Pada 2010, misalnya, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen / 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen). Sementara pd 2050, populasi umat Islam menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase umat Islam dan Kristen diperkirakan sama pd 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, umat Islam menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen.

Dengan pertambahan jumlah umat Islam yg luar biasa itu, Indonesia sebagai negara mayoritas umat Islam terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yg (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dgn perubahan peta dunia itu. NU berkepentingan untk memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian dan bukan menjadi ancaman.

Adapun tema yg diangkat Muhammadiyah adlh ‘Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan’. Sebelum 2009 slogan ni jarang terdengar bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dgn terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dlm Catatan Pribadi Kyai Syuja (2009). Buku yg ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ni di antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yg dibawa oleh Muhammadiyah (Najib Burhani, Harian Sindo, 3 Juli 2015).

Istilah yg dipakai oleh Muhammadiyah awal untk menyebut dirinya adlh ‘Islam berkemajuan’. Pada Muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ni lantas dipakai dan dipopulerkan untk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dgn globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai ’Islam kosmopolitan’, yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adlh bagian dari warga dunia yg memiliki ‘rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yg bersifat primordial dan konvensional’.

Dalam konteks ini, globalisasi dipahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu, jarak, dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika tiap hal dan tiap orang di bumi ni terkait satu sama lain. Ada empat pergerakan utama dlm globalisasi, yaitu barang dan layanan, informasi, orang, dan modal. Perpindahan empat hal tersebut dari satu negara ke negara lain memang telah terjadi sejak dahulu kala.

Namun, perpindahan dgn sangat cepat hanya terjadi setelah revolusi dlm teknologi telekomunikasi dan transportasi pd beberapa dekade belakangan ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak dan waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang. Dalam konteks Indonesia, globalisasi ni menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dlm sebuah ruang global.

Ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhilafahan di bawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita dikejutkan dgn ada sejumlah orang Indonesia yg sudah bergabung dgn mereka di Timur-Tengah dan sebagian dari mereka merekrut anggota di Indonesia serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi di Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dgn munculnya gerakan anti- Syiah seperti dlm bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).

Filosofi yg mendasari globalisasi adlh asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yg kuat akan mendominasi yg lemah. Maka itu, dlm globalisasi budaya, salah satu dampaknya adlh homogenisasi. Ini, misalnya, terwujud dlm bentuk McWorld / McDonaldization. Contoh lainnya adlh memandang Islam secara homogen dgn mengidentikkannya dgn Arab dan arabisasi.

Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi Timur-Tengah dan Barat yg dikemas menjadi sesuatu yg otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yg berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yg dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untk dialog antarperadaban.

Melembagakan Harapan

Tema yg diangkat NU dan Muhammadiyah pd muktamar kali ni sejatinya melembagakan harapan banyak pihak pd Islam Indonesia yg umumnya seringkali direpresentasikan pd NU dan Muhamadiyah. Harapan-harapan itu disampaikan, baik oleh umat Islam Indonesia sendiri maupun sejumlah tokoh dunia. Pada awal November 2013, misalnya, tokoh termuka asal Malaysia Anwar Ibrahim memberikan pujian dan berharap Islam Indonesia bisa memberikan kontribusi bagi umat Islam dunia yg sekarang ni kesulitan menentukan arah tujuannya.

Empat tahun sebelumnya, harapan serupa disampaikan Presiden AS Barrack Obama dlm pidatonya di Universitas Al-Azhar pd 2009. Dan pd dekade 80-an sarjana Muslim terkemuka asal Pakistan, Fazlur Rahman memberikan harapan yg sama. Rahman bahkan mengatakan bahwa umat Islam Indonesia tak perlu bersikap inferior. Sebab, baginya, Islam Indonesia sama otentiknya dgn Islam yg berkembang di Arab / di anak benua India, khususnya Pakistan.

Harapan dan dukungan bagi kemajuan Islam Nusantara sudah disampaikan. Kini, tinggal umat Islam Indonesia, khususnya NU dan Muhammadiyah, merespon harapan itu dan memastikan bahwa harapan itu bukan hal yg berlebihan. Dan muktamar adlh momen yg tepat untk melembagakan dan merumuskan langkah yg tepat untk menjemput harapan itu.[]

http://madinaonline.id/khazanah/muktamar-nu-muhammadiyah-dan-harapan-dunia/

source : http://muhammadiyahstudies.blogspot.com, http://okezone.com, http://solopos.com

Komentar