[Mutiara Islam] Sastra Gendhing: Pola Keberagamaan Sultan Agung

jonygoblog.blogspot.com - Banyak kalangan yg mengatakan bahwa Sastra Gendhing merupakan buah karya Sultan Agung yg berisi berbagai pemikiran beliau baik dlm soal politik maupun spiritual dgn banyak menggunakan simbol gendhing dan keindhan-keindahannya. Tapi pendapat mayoritas yg berkembang adlh bahwa para ahli banyak menganggap Sastra Gendhing sebagai karya Sultan Agung walaupun secara tak langsung. Dikatakan sebagai hasil karya tak langsung karena pokok-pokok ajaran yg terkandung di dlm nya adlh hasil ciptaan Sultan Agung, sedangkan perwujudannya menjadi karya tulis dilakukan oleh seorang Pujangga pd masa itu, dan sebagian lain mengatakan bahwa penulis Sastra Gendhing adlh Abdi Dalem Kawi Swara.[1]
Sastra Gendhing: Pola Keberagamaan Sultan Agung
Sastra Gendhing: Pola Keberagamaan Sultan Agung

Pujangga pd masa Mataram jg merupakan seorang abdi dalem. Adapun pd masa itu abdi dalem yg memiliki tugas semacam itu disebut Kawi-Swara, sebagaimana tersebut pd bait ke-20 pupuh terakhir, sebagai kata penutup sebagai berikut:


Nahenta wus purna wahyeng sasmita
Sarata den pengeti
Rinenggeng ruming gita
Ingesti salami-lami
Sumuluh mangka
Pandan ndonging budyodi

Artinya:
Setelah sempurna pemahaman
Kontemplasi
Hal itu lalu direkam
Oleh kawi-swara
Dirajut dlm rangkaian tembang
Agar dikenang selamanya
Menjadi cahaya penerang
Penuntun jalan kehidupan

Pada masa itu, pencantuman nama penulis pd suatu karya tulis memang belum menjadi suatu kebiasaan. Buakn karena tiadanya rasa pertanggungjawaban, akan tetapi hal itu justru untk menunjukkan sikap tak menonjolkan diri, suatu hal yg setidak-tidaknya pencantuman nama pd masa itu belum merupakan suatu kepentingan. Tiadanya pencantuman nama penulis jg dpt dimengerti berdasarkan alasan yg lebih mendalam, yg berhubungan dgn sikap ajaran tertentu. Adapun sebuah karya sastra/tulis disertai dgn nama penulis / penciptanya baru terjadi pd masa pujangga Ronggowarsito, meskipun pencantuman tersebut mash tersembunyi dlm bentuk sandi asma. Dengan demikian pujangga sedikit dikenal pd masa Sultan Agung. Adapun pujangga kraton dan karya tulisnya yg dikenal pd masa ni hanyalah Sultan Agung dgn karya Sastranya yg sangat terkenal, yaitu Serat Sastra Gendhing, disamping jg menulis karya-karya terkenal lain seperti Surya Alam.[2]

Adapun pujangga yg hidup di masa pemerintahan Sultan Agung tapi belum termasuk pujangga istana / keraton adlh Ki Ageng Gribig. Beliau adlh murid Sunan Kalijaga yg bertugas menyebarkan agama Islam di daerah Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Adpaun nama lain Ki Ageng Gribig adlh Wali Nukiba / Wali Anom, sedangkan warisan Ki Ageng Gribig diantaranya Masjid Cilik, Masjid Ageng, Sendang Suran, Sendang Cuwet, Sendang Kelampiyan, Gua Belon, Loji Gabus, dan masjid Gabus.[3]

Baik pd serat Sastra Gendhing ataupun Serat Pangracutan, memang tak ada pernyataan tegas bahwa Sultan Agunglah penciptanya, hal ni disebabkan justru karena beliau konskuen atas ajarannya yg jg terkandung dlm Serat Sastra Gendhing yakni bahwa antara Cipta dan ripta adlh dua hal yg tak dpt dipisahkan walaupun dpt dibedakan.

Rasa pangrasa upami
Yekti dingin rasanira
Pangrasa kari anane
Kang cipta kalawan ripta
Sayekti dingin cipta
Kang ripta pan gendingipun
Kang nembah lan kang sinembah

Artinya:
Hati dan pikiran
Tentu hati yg lebih utama
Mencipta dan merangkai
Pasti lebih utama mencipta
Merangkai ibarat gendhing
Yang menyembah dan yg disembah

Dengan demikian jelaslah bahwa abdi dalem kawi-swara yakni abdi dalem pujangga pd saat itu, sekedar mencipta ciptaan Sultan Agung, merangkai dan menyusunnya dlm suatu gubahan yg indah.

Yekir to sanepanya
Wimbang sasmita murti
Kang rinenggang gita
Amemalat driya

Artinya:
Perumpamaan tentang
Lahirnya pertanda makna
Yang terangkai dlm lagu
Yang mengalun syahdu

Kesimpulan yg dpt ditarik dari semua ni adalah, bahwa Serat Sastra Gendhing merupakan hasil karya tulis seorang pujangga / kawi-swara pd masa pemerintahan Sultan Agung yg berdasarkan pd pokok-pokok pikiran / ajaran Sultan Agung.

Adapun dlm penulisan Serat Sastra Gendhing, serat tersebut dimulai dgn pupuh Sinom, kemudian Asmarandana, Dandanggula, Pangkur dan diakhiri dgn pupuh Durma. Sebagai permulaan Sastra gendhing adlh tembang Sinom, yg menunjukkan bahwa isinya berhubungan dgn masa pertumbuhan, masa pembinaan, baik untk pribadi maupun untk pemerintahan Sultan Agung. Hal ni dpt diketahui dari latar belakang sejarah, yaitu kebudayaan Hindu masih belum hilang bekas-bekasnya. Watak Sinom bercorak kemudaan, seperti bunga yg mulai berkembang.
Pupuh kedua, Asmarandana, yg menunjukkan bangkitnya kecintaan pd sesuatu hal, yg dlm Serat Sastra gendhing tak lain adlh kecintaan pd ajaran hidup tertentu demi kebenaran / keindahannya yg menarik hati. Pupuh kedua ni ditutup dgn uraian tentang seseorang yg sedang mengandung.

Pupuh ketiga, Dandanggula, yg berisi ilmu / ajaran hidup bahwa kebenaran dan keindahan itu tak kurang-kurang manisnya. Pada pupuh ketiga inilah terkandung isi Serat Sastra Gendhing yg paling utama, khususnya bait ke-8 yg menunjukkan alasan Serat ni ditulis.

Pupuh keempat adlh Pangkur, yg mengandung peringatan tentang hal-hal yg harus ditinggalkan (nahi munkar). Adapun maksud hal-hal yg harus ditinggalkan dlm serat tersebut adlh pertengkaran berebut unggul antara Sastra dan gending, dan bahkan seharusnya menuju pd permufakatan antara Arab dan Jawa, antara kebenaran dan keindahan, antara hakikat dan syariat.

Pupuh terakhir adlh Durma, yg mengisyaratkan suatu macam peringatan yg agak keras.
Untuk mengetahui bagaimana pola keagamaan Sultan Agung sangat penting memperhatikan Serat Sastra gendhing ini. serat yg berisi pemikiran Sultan Agung tersebut dpt menjadi acan utama dlm menggambarkan pola keberagamaan Sultan Agung tanpa mengabaikan style="text-align: justify;">
Sastra Gendhing merupakan karya ilmiah yg mengandung simbol dan alegoris filosofis yg kedalamannya menunjukkan ketajaman analisis Sultan Agung dlm memberikan ajaran dasar moral sebagai panduan kehidupan agar manusia senantiasa bertafakur dlm ayat-ayat kauniyah Tuhan, sekaligus mengajarkan dzikir kepada Allah Yang Maha Bijak. Sastra Gendhing memiliki banyak arti, diantaranya Sastra bermakna Tuhan, sedang Gendhing bermakna makhluk ciptaan. Sastra bermakna batiniah, sedangkan gendhing bermakna lahiriyah. Sastra adlh tasawuf dan Gendhing adlh syariat. Sastra adlh Dzat Allah dan gendhing adlh makhluk yg nyata. Sastra bermakna Cipta mencipta idea dan Gendhing bermakna ripta, karangan.[4]

Hubungan diantara serangkaian pengertian bipolar seperti tersebut di atas yaitu ahli sastra di satu pihak berhadapan dgn ahli gendhing di pihak lainnya, dijelaskan sebagai berikut:

Dat lan sifat upami
Sayekti dingin upami
Dupi wus ana sipate
Mulajamah aranira
Awal lan akhirira
Kang sipat tansah kawengku
Marang dat kajatinira

Artinya:
Dzat dan sifat selalu
Lebih dahulu dzatnya
Ketika sudah ada sifat
Yang disebut mulajamah
Yang awal dan yg akhir
Sifat selalu termuat
Dalam hakikat zat
Hubungan antara rasa-pangrasa, cipta-ripta, yg disembah-yang menyembah dpt dilihat pd bait berikut:

Rasa pangrasa upami
Yekti dingin rasanira
Pangrasa kari anane
Kang cipta kalawan ripta
Sayekti dingin cipta
Kang ripta pan gendingipun
Kang nembah lan kang sinembah

Artinya:
Hati dan pikiran ibaratnya
Lebih unggul pikiran pastinya
Dari keberadaan pikiran
Sedang kreasi dan perangkaian
Tentu lebih utama kreasi
Dari rangkaian tembang
Seperti yg menyembah dan
Yang disembah
Hubungan antara kodrat dan irodat dpt dilihat pd bait berikut:

Yekti dihing kang pinuji
Kahanane kang anembah
Saking kodrating Hyang Manon
Apan kinarya lantaran
Sajatining panembah
Wisesaning dat mrih ayu
Amujing ing dewekira

Artinya:
Tentu lebih dahulu yg disembah
Daripada yg menyembah
Dari hakikat Hyang Agung
Berguna sebagai sarana
Hakikat penyembahan
Kepada Dzat untk keselamatan
Hubungan antara Yang kadim-Yang baru, sastra-gendhing, zat-sifat, yg disembah-yang menyembah, rasa-pangrasa:

Upamane jalu lawan estri
Yen saresmi jraning rohmat pd
Pranyata iku tandane
Tuhu tuhuning kawruh
Ing pamoring anyar lan kadim
Dat lawan sipatira
Sastra gendhingipun
Kang rasa lawan pangrasa
Estri priya pamornya kapurba
Wening
Atetep tinetepan

Artinya:
Seperti suami istri
Bila bersetubuh dlm kebenaran
Merupakan perumpamaan
Bagi pengetahuan sejati
Meleburnya yg fana dan baka
Antara Dzat dan Sifat
Antara sastra dan gendhing
Antara hati dan pikiran
Rahasia pria wanita yg terangkum
Menyatu dlm kesatuan
Hubungan antara yg tercermin dan bayangannya:

Mulajamah loroning ngatunggil
Tunggal rasa rasa kawisesan
Nging lamun dadi tuduhe
Wajib ing prianipun
Kadya ngakal pinurbeng alip
Lir warna jro paesan
Iku pamenipun
Kang ngilo atining sastra
Kang wayangan gendhing
Sasiraning cermin
Majing jatining sastra

Artinya:
Mulajamah kesatuan dua hal
Yang itu menjadi kiasan
Substnsi kejahatan
Pemikiran yg bermula dari alif
Bagi sosok dlm cermin
Itulah perumpamaan
Yang bercermin ibarat sastra
Dan bayangan itu adlh gendhing
Selesai bercermin
Bayangan kembali kepada sastra
Gendhing akan senantiasa mengikuti apa yg telah digariskan oleh sastranya. Antara sastra dan gending selanjutnya akan senantiasa bersesuaian. Dari segi makna kata ini, Sastra Gendhing menjelaskan bagaimana hubungan antara Allah dan manusia harus dilakukan yg merupakan pokok perhatian dlm tasawuf.

Kitab Sastra gendhing menurut Ardani memuat dua tema besar, yakni teologi dan tasawuf. Dalam bidang teologi ni Sultan Agung menjelaskan bahwa teologi merupakan kesatuan tiga unsur yg membentuk konfigurasi segitiga sama sisi, dgn memposisikan Tuhan pd posisi puncak. Adapun dua titik lainnya ditempati oleh manusia dan alam. Tiga sisi utama tersebut merupakan mata rantai yg saling sambung-menyambung meskipun pd intinya Tuhanlah yg menjadi sumber dari dua sisi yg lain.[5]

Pertama tentang Tuhan. dlm Sastra Gendhing digambarkan bahwa Tuhan adlh Dzat Yang Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha Pencipta, dan serba Maha yg tak terikat oleh seperangkat tata norma. Bahkan Tuhan diumpamakan sebagai tempat kembalinya semua persoalan. Tuhan memiliki asma / nama yg mencerminkan kebesaran dan keindahan-Nya, serta memiliki sifat yg jumlahnya dua puluh (kanang sastra kalih dasa). Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak atas makhluk-Nya. Ia ibarat dalang dan manusia adlh wayang. Perbuatan manusia sepenuhnya tak terlepas dari pengawasan Tuhan. tuhan adlh sumber penggerak perbuatan manusia (amurba solahing ringgit).

Kedua, tentang manusia. Menurut Sastra Gendhing, manusia digolongkan ke dlm dua tingkatan. Pertama, ahlu al-Dzahir (fukaha) yg mampu menangkap nuansa keilahian melalui pengalaman rohaniah. Kedua ahlu al-Batin yg mampu menangkap keilahian melalui pengalaman rohaniah. Adapun antara kedua golongan tersebut memiliki bidang pengalaman yg masing-masing tak perlu dipertentangkan karena sudut pandangnya dlm melihat suatu permasalahan dilihat dari ukuran dan kaca mata yg berbeda.

Di dlm Sastra Gendhing jg disebutkan pula bahwa orang-orang yag dpt memberikan pencerahan, yakni nabi dan mursalin, wali, fukaha, dan para imam. Selain itu manusia dianjurkan untk berbuat baik sesuai dgn kemampuan yg ia miliki tanpa harus menunggu tercapainya kesempurnaan dirinya. Manusia jg harus mencari pengetahuan, baik ilmu lahir maupun ilmu batin secara integral-holistik.

Ketiga, tentang alam. Menurut Sastra Gendhing, alam mengikuti kehendak Tuhan, alam terikat oleh beberapa aturan hukum yg telah diciptakan oleh Tuhan. alam mengikuti kehendak Tuhan karena alam sebagai gendhing harus sesuai dgn Tuhansebagai sastra. Manakala hukum alam ni sudah berbenturan satu dgn lainnya maka hal itu adlh pertanda telah terjadi kiamat.

Dalam bidang tasawuf, Sultan Agung sebagaimana dijelaskan dlm Sastra Gendhing telah berhasil mengupayakan suatu penggabungan antara ketaatan normatif yg berdasarkan syariah dgn tasawuf. Dalam hal ni di satu sisi, Sultan Agung menganjurkan pentingnya syariah sebagai landasan tasawuf (tasawuf suni), dilain sisi Sultan Agung mengakui keberadan tasawuf falsafi dgn hulul sebagai salah satu konsepnya.

Dalam Sastra Gendhing pupuh Asmarandhana disebutkan bahwa ketenangan dan kebahagiaan manusia di dunia hingga akhirat dpt diperoleh dgn jalan mengerjakan syariat secara istiqamah, baik dlm hubungan secara vertikal dgn Allah maupun hubungan secara horizontal dgn sesama umat manusia.

Syariat menurut Sultan Agung merupakan pijakan awal bagi seseorang untk menaiki maqam selanjutnya, yakni tarikat yg berupa beberapa maqamat dari satu sisi maqam menuju maqam yg lebih tinggi (menggah tarekat kawruh mangerti, ngijen-ngijen trusing kasampurnan), sehingga pd akhirnya manusia dpt bersentuhan dgn hakikat, yakni merasa dekat dan mengenal Tuhan dgn sebenar-benarnya (hakekat wus nunggalake). Dalam keadaan demikian manusia akan mencapai makrifat dgn mata hati (makrifat trusing kawruh).


[1] Damardjati Supadjar, Filsafat Sosial Serat Sastra Gending (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 14. [2] Ibid., hlm. 116. [3] Moh Fatkhan, Sastra Gendhing sebagai Konsep Pemikiran dan Paham Keagamaan Sultan Agung dlm Pergumulan Islam dan tradisi (1613-1645), dlm Jurnal Esensia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 77. [4] Ibid., hlm. 79. [5] Ibid., hlm. 82.

source : http://fb.com, http://docstoc.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini