[Haji] Sebelum Berkurban, Haram Memotong Kuku Dan Rambut. Benarkah?

jonygoblog.blogspot.com - Akhir-akhir ini, setidaknya ketika akses internet mulai merebak, terutama di kalangan terpelajar dan professional dan seiring dgn keinginan mereka menimba ilmu agama, mulai banyak beredar dakwah (ajakan) dan jg peringatan dari beberapa orang agar orang yg hendak berkurban jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah agar tak memotong rambut dan kukunya sampai hewan kurban miliknya disembelih.

Sebelum Berkurban, Haram Memotong Kuku Dan Rambut. Benarkah?

Jika ditelusuri, dasar pilihan hukum di atas adlh hadits yg shahih yg diriwayatkan oleh Ummu Salamah RA yg dikeluarkan oleh Imam Muslim di dlm kitab Shahihnya.

عَنْ أُمِّ سَلَمةَ رضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: "مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّة، فَلا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْره وَلا منْ أَظْفَارهِ شَيْئاً حَتَّى يُضَحِّيَ " رَواهُ مُسْلِم
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yg memilihi sembelihan yg akan disembelihnya, maka jika sudah masuk hilal Dzul Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sehingga ia menyembelih (HR. Muslim)

Jika membaca hadits seperti ni dgn lafadz yg mengandung penekakanan jangan sekali-kali yg di dlm ilmu nahwu nun pd lafadz ta’khudzanna dinamakan nun taukid nun yg berfungsi memberikan penekanan pd kata kerja, pembaca yg awam tentu akan segera mengambil kesimpulan hukum haram dari larangan dlm matan hadits dgn berdasar hadits yg shahih. Dan bisa jadi tak ingin ketinggalan kesempatan ia akan segera memberikan peringatan dan berdakwah ke sanak saudara dan sahabat yg akan berqurban dgn niat yg tulus ingin mencegah kemunkaran.

Hadits di atas ada di dlm shahih Muslim, hadits yg terkenal, bahkan di banyak pesantren di Indonesia kitab shahih Muslim jg dikaji sampai tuntas, tak hanya itu, hadits ni jg dimuat di dlm kitab Riyadhus Shalihin yg hampir seluruh pesantren tradisional maupun modern di Indonesia mengaji kitab ini, di samping itu ibadah qurban di hari raya ‘idul Adha sudah ada ratusan tahun di semua negara Islam, tapi mengapa hukum larangan memotong rambut dan kuku nyaris tak terdengar? Pertanyaan yg sangat wajar dan tentu ada sesuatu yg menyebabkan hokum tersebut kurang populer, meskipun termuat di dlm kitab hadits yg shahih sekelas shahih Muslim.

Hadits ni bisa dijadikan pelajaran berharga, untk menyikapi banyak lagi hadits lainnya yg berkaitan dgn hukum, bahwa tak semua lafadz-lafadz lahiriah (dzahiriah) sebuah hadits bisa langsung dijadikan dalil hukum, para ulama’ hadits selalu mengaitkan dgn dilalah (maksud) lafadz tersebut dan di samping itu jg dicari dalil-dalil pembanding, sebab bisa jadi ada ta’arudh (kontradiksi) dgn dalil yg lain sebagai bahan untk jam’ (mengkompromikan) / men-tarjih (memilih yg kuat) dari sekian banyak dalil, tanpa proses tersebut dipastikan seseorang yg membaca dalil hukum dari teks al-Qur’an ataupun Sunnah akan terjebak dlm kekeliruan dlm pengambilan kesimpulan.

Kembali ke hadits Ummu Salamah di atas, derajat hukumnya dipastikan shahih, tapi bukan berarti jika hadits yg shahih kemudian dilalahnya (maksudnya) menjadi qath’i (pasti dgn satu arti), nash di dlm al-Qur’an ataupun hadits yg mutawatir dan shahih, maksud dan kandungannya memiliki dua sisi, ada yg qath’i (pasti) dan ada yg dhanni (relatif).

Hadits ini, meskipun lafadz dzahirnya ada penekanan kuat, jangan sekali-kali, tapi para ulama’ tak kemudian membiarkan arti ni dilanjutkan ke ranah hukum tanpa proses, tapi ada sekian banyak pertimbangan sebelum mengambil kesimpulan, di antaranya:

Ada beberapa riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yg dimuat oleh Imam al-Bukhari di dlm shahihnya dan jg di muat oleh imam-imam muhadditsin lainnya, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengirimkan hadyu (hewan sembelihan) melalui Abu Bakar yg mana hadyu tersebut dikirimkan ke Baitullah, dan Nabi saw masih muqim di Madinah, Nabi saw tak mengharamkan apapun sebagaimana pantangan yg dihindari oleh orang yg sedang berihram.

Peristiwa ni diriwayatkan oleh Aisyah, istri dan sahabat yg paling mengetahui seluk beluk Nabi saw di rumahnya, oleh karenanya Imam as-Syafi’i berkomentar: Dan mengirimkan hadyu (hewan qurban) lebih dari sekedar ingin berqurban, maka ni menjadi dalil bahwa hal itu (memotong rambut dan kuku) tak diharamkan.

Abu al-Walid al-Baji mengatakan: Ucapan Aisyah: Kemudian Nabi saw mengirimkan hewan qurbannya melalui ayahku, (dengan menyebut melalui ayahku) ia sebenarnya ingin menerangkan bahwa Nabi saw melakukan itu semua pd tahun ke 9 H, jg ingin memberitahukan bahwa beliau mengerti semua permasalahnnya.

Artinya, perbuatan Nabi saw dgn tak meninggalkan pantangan apapun sebelum berqurban terjadi di akhir hayat beliau, sebab pd tahun berikutnya beliau naik haji. Hal ni menunjukkan bahwa hadits Aisyah hukumnya tetap, tak dimansukh (tidak dihapuskan).

Di samping itu riwayat Aisyah ni demikian masyhur di kalangan sahabat dan tabi’in bahkan kemasyhuran riwayat ni sampai pd kelas mutawatir, berbeda dgn riwayat Ummu Salamah, oleh karenanya al-Imam al-Laith bin Sa’d ketika disampaikan kepada beliau tentang hadits Ummu Salamah ra beliau berkata: (Hadits) ni telah diriwayatkan, tapi orang-orang melakukan selain yg terkandung dlm hadits ini.

Imam al-Laits sepertinya ingin berkesimpulan, meskipun hadits ni shahih tapi orang-orang mengamalkan hadits shahih yg lain. Menunjukkan maksud dan kandungan hadits Ummu Salamah kurang kuat jika dibandingkan dgn riwayat-riwayat yg lainnya, dan bahkan banyak ulama’ muhadditsin yg tak mengamalkan isi kandungan hadits Ummu Salamah.

Di sudut lain ada jg ulama’ tabi’in yg menggunakan qiyas, ‘Ikrimah murid dan mantan hamba Ibnu Abbas yg jg ulama besar Makkah ni ketika disampaikan kepada beliau hadits Ummu Salamah, beliau mengakatan: Tidaklah sebaiknya orang itu meninggalkan berhubungan badan dan wewangian.

Maksudnya, jika memotong kuku dan rambut dilarang tentu berhubungan badan harus dilarang juga, sebab lebih berat. Qiyas ni diperkuat lagi oleh Ibnu ‘Abdil Barr, tokoh penting madzhab Maliki, beliau berkata: Semua ulama’ telah berijma’ (konsensus), bahwa berhubungan badan di sepuluh awal Dzul Hijjah bagi yg ingin berqurban diperbolehkan, maka yg kurang dari itu hukumnya mubah. Logika Ibnu Abdil Barr jg relevan, dari sekian banyak pantangan ihram, berhubungan badan tak sebanding dgn memotong rambut dan kuku.

Adapun yg berpendapat bahwa larangan tetap berlaku dgn mendasarkan kepada hadits Ummu Salamah, mereka menyikapinya sebagai berikut:

Pertama, teks dzahir dari hadits Ummu Salamah berpendapat bahwa hadits Aisyah sangat umum sedangkan hadits Ummu Salamah untk peristiwa yg khusus, sesuai dgn kaidah yg khusus harus didahulukan dari pd yg umum.

Hadits ‘Aisyah menerangkan perbuatan Nabi saw, sedangkan hadits Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi saw, dan dlm istinbath hukum dari hadits, ucapan Nabi saw lebih didahulukan daripada perbuatannya, sebab boleh jadi perbuatannya hanya khusus untk beliau.

Imam Ahmad yg berpendapat haramnya mencukur rambut dan memotong kuku membedakan hukum bagi orang yg berkurban dgn mengirimkan ke Makkah dan tetap tinggal di rumahnya dan orang yg berniat ingin menyembelih. Meskipun alasan ni sudah terjawab dgn komentar Imam as-Syafi’i di atas.

Dari metode istinbath yg berbeda-beda ni maka kesimpulan hukumnya jg berbeda, inilah yg disebut ijtihad ulama’ dlm memutuskan hukum, meskipun sudah ada nash, ijtihad dlm persoalan ni tetap diperlukan sebab meskipun ada nash agama, tapi dalilnya bukan dalil yg qath’i, sehingga maksud dari isi kandungannya masih multi tafsir.

Oleh karenanya para ulama’ berbeda dlm memutuskan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yg ingin berqurban jika hilal bulan Dzulhijjah sudah terlihat, minimal ada empat pendapat:

1. Abu Hanifah dan jumhur Hanafiyyah: Hukumnya boleh, tak makruh dan tak ada masalah apapun.

2. Pengikut Abu Hanifah yg muta’akkhirin: Tidak apa-apa, tak makruh tapi khilaful aula (meninggalkan yg mustahabb).

3. Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah: Disunnahkan untk tak memotong rambut dan tak memotong kuku bagi yg hendak berqurban dan jika memotongnya termasuk makruh tanzih, tapi bukan haram.

4. Imam Ahmad, Dawud ad-Dzahiri dan beberapa ulama lain menyatakan hukumnya haram jika memotong rambut dan kuku.

Dari paparan di atas, yg menyatakan hukumnya haram sangat sedikit, bahkan dari ulama’ madzhab hanya Imam Ahmad yg bersikukuh hukumnya haram, adapun jumhur ulama’ madzhab lebih cenderung memutuskan hukumnya adlh makruh, bahkan makruh karahah tanzih, yg berarti seyogyanya tak dilakukan.

Pelajaran penting dari hadits ini

Terlepas dari pilihan-pilihan hukum yg sudah matang dan dikaji dgn mendalam oleh para ulama’ hadits dan jg fuqaha’ dan diskusinya sudah dibahas tuntas di dlm kitab-kitab fiqih dan syarah-syarah hadits, ada pelajaran penting dari hadits ini:

1. Memahami teks agama tanpa bimbingan ulama’ adlh sesuatu yg sangat berbahaya. Belajar sendiri dari nash-nash al-Qur’an dan hadits tanpa merujuk ke tafsir dan syarah-syarah hadits adlh tindakan yg sangat gegabah.

2. Nash al-Qur’an dan nash hadits-hadits Nabi yg berupa larangan, belum tentu kesimpulan hukumnya adlh haram. Sebab kata larangan memiliki indikasi makna yg bermacam-macam, untk mengetahui hal ini, seseorang perlu mempelajadi dilalatul alfadz di dlm disiplin ilmu ushul fiqih.

3. Tidak semua nash dlm al-Qur’an dan hadits mengandung maksud qath’i (hukumnya pasti, tak menerima perbedaan), tapi kebanyakan nash dalah dhanni (relatif).

4. Para salafusshalih, dlm hal ni para sahabat dan tabi’in jg terbiasa berbeda dlm masalah ijtihadiyyah. Hal ni bisa dilihat dari sikap para tabi’in yg melaporkan persoalannya kepada Aisyah ra jg sikap para ulama’ tabi’in dlm menyikapi hadits Ummu Salamah ra.

5. Pilihan hukum tertentu dari masalah-masalah khilafiyyah tak boleh mengganggu muslim yg lain yg berbeda pilihan. Bahkan tak diperlukan amar ma’ruf dan nahi munkar dlm persoalan seperti ini. Sebab semuanya berdasarkan dalil yg sama-sama dianggap kuat.

6. Hadits ni hanya satu dari beratus-ratus hukum yg di dalamnya terjadi khilaf di kalangan ulama’, sehingga semakin luas wacana berpikir seseorang dlm dalil-dalil agama, maka akan semakin berlapang dada dlm menyikapi persoalan umat.

7. Merasa paling di atas sunnah hanya dgn berpihak pd satu pilihan hukum yg dhanni tanpa toleransi akan memicu perselisihan di antara umat Islam.

8. Ilmu agama demikian luas, dalil agama jg demikian banyak, akan sangat berbahaya jika hanya berpegang kepada satu dan dua dalil dan tak mau mencari yg lain dan menutup hati dari kaluasan ilmu yg tak berbatas.

9. Terkadang seseorang sudah merasa paling benar dlm pilihan hukum di suatu masalah, tapi lambat laun seiring dgn berkembangnya wawasan keagamaan, maka dada jg akan semakin luas untk menerima perbedaan yg dlm ranah khilafiyyah yg mu’tabar.

10. Masalah ijtihadiyyah seperti di atas bukanlah tolok ukur al-haqq dan al-bathil, tapi ranahnya adlh al-shawab (benar) dan al-khatha’ (salah), yg berijtihad dan benar akan mendapat dua pahala dan yg berijtihad dan tersalah tetap mendapatkan satu pahala.

Wallahu a’lam.

other source : http://kabarmakkah.com, http://kompas.com, http://docstoc.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini